1. SOAL LATIHAN UTS AGAMA KLS 1 SEMESTER I
2. SOAL LATIHAN UTS IPA KLS 1 SEMESTER 1
3. SOAL LATIHAN UTS IPS KLS 1 SEMESTER I
4. SOAL LATIHAN UTS MTK KLS 1 SEMESTER I
SOAL LATIHAN UTS KELAS 1 SEMESTER I (2)
Diposkan oleh
Arifah Dalili
|
undefined/undefined

Soal Latihan UTS Semester I untuk Kelas I SD
Diposkan oleh
Arifah Dalili
|
undefined/undefined
Perkembangan Sosial Anak Usia Sekolah Dasar
Diposkan oleh
Arifah Dalili
|
undefined/undefined
1.
Pengertian
Perkembangan Hubungan Sosial
Manusia nantinya akan tumbuh dan berkembang di dalam
suatu lingkungan. Lingkungan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu lingkungan
fisik dan sosial. Sekarang ini kita akan membahas mengenai lingkungan sosial
,lingkungan sosial merupakan lingkungan yang memberikan banyak pengaruh
terhadap pembentukan berbagai aspek kehidupan, terutama sosio-psikologis.
Manusia sebagai makhluk sosial tentunya senantiasa akan selalu berhubungan
dengan manusia lainnya. Bersosialisasi pada dasarnya merupakan suatu proses
penyesuaian diri terhadap lingkungan kehidupan sosial,bagaimana seharusnya
seseorang hidup di dalam kelompoknya, baik dalam kelompok kecil maupun kelompok
luas. Interaksi seseorang dengan manusia lain diawali sejak saat bayi lahir,
dengan cara yang amat sederhana.[1]
Menurut
Piaget dalam (Perkembangan Anak Peserta
Didik (2002: 127)) interaksi sosial anak
pada tahun pertama sangat terbatas,
terutama hanya dengan ibunya. Perilaku sosial anak tersebut berpusat pada
dirinya. Bayi belum banyak memperhatikan lingkungannya, dengan demikian apabila
kebutuhan dirinya telah terpenuhi maka bayi itu tidak peduli lagi terhadap
lingkungannya dan sisa waktu hidupnya digunakan untuk tidur.Pada tahun kedua, anak sudah belajar kata “tidak”
dan sudah mulai belajar “menolak” lingkungan , seperti mengatakan tidak mau
ini”,”tidak mau itu”,”tidak pergi” dan semacamnya. Anak telah mulai
mereaksi lingkungan secara aktif, ia telah
belajar membedakan dirinya daripada orang lain, perilaku emosionalnya sudah
mulai berkembang dan lebih berperan.Perkenalan dan pergaulan dengan manusia
lain segera menjadi semakin luas ; ia mengenal kedua orang tuanya, anggota
keluarganya, teman bermain sebaya, dan teman-teman sekolahnya. Pada umur-umur
selanjutnya, sejak anak mulai belajar disekolah, mereka mulai belajar
mengembangkan interaksi sosial dengan belajar menerima pandangan kelompok
(masyarakat), memahami tanggung jawab, dan berbagai pengertian dengan orang
lain.
2.
Unsur-Unsur
Perkembangan Sosial[2]
a.
Perkembangan
Kepribadian
Salah
satu unsur perkembangan sosial adalah perkembangan kepribadian. Eric Erikson
dalam (Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini (2009: 70)), seorang ahli teori
psikoanalisis, memandang perkembangan identitas anak sebagi cerminan dari
hubungan dengan orang tua dan keluarga di dalam konteks yang lebih luas tentang
masyarakat.
Guru
yang berpikir tentang perilaku anak-anak di dalam terminologi Erikson akan
merencanakan program yang menyediakan banyak peluang untuk anak-anak untuk
membangun kepercayaan untuk membuat berbagai macam pilihan serta merasakan
sukses dari pilihan yang mereka buat sendiri. Buzelli dan Memfile menyatakan
bahwa membangun sebuah persahabatan adalah penting dalam tujuannya untuk membangun
sebuah kepercayaan. Membantu anak-anak untuk mengenali kebutuhan dan perasaan
mereka sendiri merupakan hal yang penting di dalam membangun kepercayaan. Anak
harus merasakan bahwa gagasannya adalah gagasan yang baik dan orang lain
menghormati gagasan itu.
b.
Perkembangan
Konsep Diri
Konsep
diri dikembangkan secara bertahap. Anak mengembangkan konsep dirinya sebagai
seorang individu yang terpisah dari orang lain selama beberapa tahun. Melalui
interaksi pertama anak dengan orang tua dan keluarga dan kemudian dengan orang
lain diluar keluarga tersebut, anak secara berangsur-angsur mulai mengembangkan
suatu konsep mengenai siapa meraeka dan seperti apa mereka.
c.
Peran
Dari Permainan
Pengalaman
bermain sangat penting di dalam perkembangan sosial dan emosional dari
anak-anak. Anak-anak dapat “memainkan” berbagai peran dan perilaku serta
mendapatkan umpan balik tentang kecocokan dari perilaku dalam bermain. Mereka
dapat memainkan “peran pemarah” atau “sebagai bayi” dan menemukan tanggapan apa
perilaku yang mereka timbulkan dalam suatu situasi yang tidak dikondisikan.
Mereka dapat juga “memainkan “ berbagai peran dari orang dewasa.
d.
Hubungan
Sosial Dan Keterampilan Sosial
Anak
belajar tentang kepuasan dari melakukan suatu tugas sampai hal tersebut
diselesaikan dan menggunakan keterampilannya untuk melaksanakan semua tugas
sesuai dengan harapan orang lain dan dirinya sendiri.
Riset
yang berkelanjutan dilakukan untuk menekankan pentingnya perkembangan
pembangunan sosial bagi anak-anak. Ullmann (1957) dalam (Konsep Dasar PAUD
(2009:73)) menemukan bahwa anak-anak yang tidak disukai oleh lingkungna
memiliki kemungkinan gagal di dalam sekolah mereka; Roff dan Sells (1968) dalam
(Konsep Dasar PAUD (2009:73)) menemukan bahwa anak-anak yang tidak disukai di
lingkungan lebih mungkin terlibat dalam perilaku pelanggaran ketika mereka
beranjak remaja. Studi ini menggaris bawahi tentang pentingnya menbantu
anak-anak belajar untuk mengambil bagian di dalam hubungan sosial. Anak-anak
yang gagal di dalam hubungan sosial pada dasarnya dikarenakan mereka tidak
mampu meneliti situasi dan menentukan perilaku mana yang perlu diubah.
Keterampilan
sosial sebagi suatu “kemampuan untuk menilau apa yang terhadi dalam suatu
situasi sosial; keterampilan untuk merasa dan dengan tepat menginterpretasikan
tindakan dan kebutuhan dari anak-anak di kelompok bermainan; kemempuan untuk
membayangkan beramacam-macam tindakan yang memungkinkan dan memilih salah satu
yang paling sesuai”. Anak-anak yang berhasil dan populer secara sosial
seringkali menunjukkan kemampuan ini, sedangkan anak-anak yang memiliki
keterampilan sosial yang rendah memerlukan instruksi yang langsung dengan cara
modelling, memainkan peranan, atau penggunaan boneka untuk membantu mereka
dalam mengembangkan kemampuan ini.
Para
guru dan orang tua mempunyai kaitan dengan perkembangan di dalam anak-anak
tentang perilaku prososial. Perilaku prososial dapat dikembangkan melalui
kondisi-kondisi tertentu, seperti:
1. Anak-anak
mempunyai hubungan yang konsisten dengan pemeliharaan orang dewasa yang secara
individu penuh perhatian.
2. Anak-anak
dapat mengidentifikasi perasaan (mereka sendiri dan perasaan orang lain).
3. Anak-anak
dapat menunjukkan kepada orang dewasa siapa yang dapat memperagakan perilaku
yang prososial.
4. Peluang
anak-anmak yang telah bereaksi terhadap situasi yang nyata dimana perilaku
prososial adalah merupakan perilaku yang sesuai.
5. Anak-anak
telah didukung untuk berpikir tentang alternatif yang mungkiin ke arah suatu
tindakan.
e.
Agresi
Aspek
yang lain tentang pembangunan sosial yang patut mendapat perhatian adalah
agresi. Para guru dan orang tua mempunyai kaitan dengan perilaku yang agresif
dengan anak-anak. Hasil dari studi menunjukkan bahwa perilaku yang agresif di
kelas dapat dikurangi dengan menyediakan bahan-bahan, ruang yang cukup
sedemikian sehingga anak-anak tidak mempunyai alasan untuk bersain antara anak
yang satu dengan anak yang lain. Penting pula bagi anak untuk meniru model
perilaku saling bekerja sama, mendiskusikan dan menunjukkan solusi ke
permasalahan yang lain selain dari agresi, bukan hanya mengalihkan agresi ke
benda mati.
f.
Identifikasi
Peran Seks
Identifikasi
peran seks merupakan hal penting lain dalam pembangunan sosial. Setelah anak
berumur sekitar tujuh tahun, anak-anak nampak tumbuh lebih sedikit kaku dalam
pikiran mereka tentang peran seks, hal ini disebabkan mungkin karena mereka
merasa lebih aman tentang identitas seksual mereka sendiri. Para guru akan
menginginkan struktur kelas dan aktivitas yang sedemikian sehingga kedua-duanya
baik anak laki-laki dan anak perempuan mempunyai dorongan dan peluang yang sama
untuk mengambil bagian.
3.
Keluarga[3]
Ketika
anak-anak memasuki masa pertengahan dan akhir anak-anak, para orang tua hanya memberi
sedikit waktunya untuk mereka. Waktu yang dihabiskan oleh orang tua untuk
mengasuh, mengajak berbicara dan bermain dengan anak-anak mereka yang berusia 5
hingga 12 tahun kurang dari setengah dari waktu yang diberikan ketika anak-anak
masih lebih kecil. Penurunan interaksi orang tua anak-anak ini bahkan mungkin
lebih tajam pada keluarga-keluarga yang orang tuanya kurang berpendidikan.
Walaupun para orang tua meluangkan lebih sedikit waktunya dengan anak-anak
mereka pada masa pertengahan dan akhir anak-anak dibandingkan dengan masa awal
anak-anak, orang tua tetap menjadi pelaku-pelaku sosialisasi yang sangat
penting dalam kehidupan anak mereka.
Interaksi
orang tua-anak selama masa awal anak-anak berfokus pada hal-hal seperti
kesopanan, pengendalian amarah, perilaku, tata krama, dan mencari perhatian.
Hal-hal yang berkaitan dengan sekolah sangat penting bagi keluarga selama masa
pertengahan dan akhir anak-anak. Kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan
sekolah adalah alasan nomor satu mengapa anak-anak pada kelompok usia ini
diarahkan untuk memperoleh pertolongan klinis. Anak-anak harus belajar
berhubungan secara teratur dengan orang-orang dewasa diluar keluarga. Selama
masa pertengahan dan akhir anak-anak, interaksi dengan orang-orang dewasa
diluar keluarga melibatkan orientasi pengendalian dan prestasi yang lebih
formal.
Menerapkan
disiplin kepada anak selama masa pertengahan dan akhir anak-anak seringkali
lebih mudah bagi orang tua daripada selama masa awal anak-anak. Pada masa
pertengahan anak-anak, perkembangan kognitif anak-anak sudah semakin matang
sehingga memungkinkan orang tua untuk bermusyawarah dengan mereka tentang
penolakan penyimpangan dan pengendalian perilaku mereka. Pada masa remaja,
penalaran anak-anak menjadi lebih canggih, dan mereka cenderung kurang dapat
menerima disiplin orang tua. Orang tua anak-anak sekolah dasar menggunakan
lebih sedikit disiplin fisik dibandingan yang dilakukan oleh orang tua terhadap
anak-anak prasekolah. Sebaliknya, orang tua anak-anak sekolah dasar lebih cenderung
menggunakan pengurangan hak-hak istimewa, tindakan-tindakan yang diarahkan
kepada harga diri anak, komentar-komentar yang dirancang untuk menggugah rasa
bersalah anak, dan pernyataan-pernyataan yang menunjukan kepada anak bahwa ia
bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya.
Selama
masa pertengahan dan akhir anak-anak, beberapa kendali dialihkan dari orang tua
kepada anak, walaupun prosesnya bertahap dan merupakan coregulation (
koregulasi, aturan yang dibuat secara bersam-sama ) daripada dikendalikan oleh
anak saja atau oleh orang tua saja. Selama masa pertengahan dan akhir
anak-anak, orang tua harus terus menjalankan pengawasan umum dan menggunakn
kendali, meskipun anak-anak diperbolehkan untuk terlibat di dalam pengaturan
sendiri dari waktu ke waktu. Proses koregulasi ini adalah suatu periode
transisi antara kuatnya kendali orang tua pada masa awal anak-anak dengan
meningkatkan pengurangan pengawasan umum masa remaja.
Selama
koregulasi ini, orang tua harus:
-
Memonitori, menuntut, dan mendukung
anak-anak dari jauh.
-
Menggunakan waktu secara efektif ketika
mengadakan kontak langsung dengan anak.
-
Memperkuat kemampuan anak untuk memantau
perilaku sendiri, mengadopsi standar-standar perilaku yang sesuai, menghindari
resiko-resiko yang membahayakan, dan merasakan kapan dukungan dan kontak orang
tua sesuai.
Pada masa
pertengahan dan akhir anak-anak, orang tua dan anak-anak cenderung saling
memberi cap kepada satu sama lain dan saling memberi atribusi pada motif pihak
lain. Perubahan-perubahan pada orang tua juga mempengaruhi hakekat interaksi
orang tua anak pada masa pertengahan dan akhir anak-anak.
Perkembangan Emosi Anak Usia Sekolah Dasar
Diposkan oleh
Arifah Dalili
|
undefined/undefined
1.
Pengertian
Emosi
Perbuatan
kita sehari-hari pada umumnya disertai oleh perasaan-perasaan tertentu, seperti
perasaan senang atau tidak senang. Perasaan senang atau tidak senang yang
menyertai perbuatan-perbuatan kita sehari-hari disebut warna afektif.
Perasaan-perasaan tersebut disebut emosi. Emosi dan perasaan merupakan suatu
gejala emosional yang secara kualitatif berkelanjutan, akan tetapi tidak jelas
batasnya. Menurut Crow & Crow (1958) dalam (Perkembangan Peserta Didik
(2002:149)) pengertian emosi adalah “pengalaman afektif yang disertai
penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik dan
berwujud tingkah laku yang nampak.”
2.
Ciri
Khas Penampilan Emosi Anak[1]
· Emosi yang kuat
Anak
kecil bereaksi dengan intensitas yang sama, baik terhadap situasi yang remeh
maupun yang serius.
· Emosi seringkali
tampak
Anak-anak
seringkali memperlihatkan emosi mereka meningkat dan mereka menjumpai bahwa
ledakan emosional seringkali mengakibatkan hukuman, mereka belajar untuk
menyesuaikan diri dengan situasi yang membangkitkan emosi. Kemudian mereka
mengekang ledakan emosi mereka dan bereaksi dengan cara yang lebih dapat
diterima.
· Emosi bersifat
sementara
Peralihan
yang cepat pada anak-anak kecil dari tertawa kemudian menangis, atau dari marah
ke tersenyum, atau dari cemburu ke rasa saying merupakan akibat dari 3 faktor;
membersihkan system emosi yang terpendam dengan ekspresi terrus terang;
kekurangsempurnaan pemahaman terhadap situasi karena ketidakmatangan
intelektual dan pengalaman yang terbatas; dan rentang perhatian yang pendek
sehingga perhatian itu mudah dialihkan. Dengan meningkatnya usia anak, emosi
mereka menjadi lebih menetap.
· Reaksi
mencerminkan individualitas
Semua
bayi yang baru lahir pola reaksinya sama. Secara bertahap, dengan adanya
pengaruh faktor belajar dan lingkungan, perilaku yang menyertai berbagai macam
emosi semakin diindividualisasikan. Seorang anak akan berlari keluar dari
ruangan jika mereka ketakutan, sedangkan anak lainnya mungkin akan menangis dan
anak lainnya mungkin akan bersembunyi dibelakang kursi atau dibalik punggung
seseorang.
· Emosi berubah
kekuatannya
Dengan
meningkatnya usia anak, pada usia tertentu emosi yang sangat kuat berkurang
kekuatannya, sedangkan emosi lainnya yang tadinya lemah berubah menjadi kuat.
Variasi ini sebagian lagi oleh perkembangan intelektual, dan sebagian lainnya
oleh perubahan minat.
· Emosi dapat
diketahui melalui gejala perilaku
Anak-anak
mungkin tidak memperhatikan reaksi emosi mereka secara langsung, tetapi mereka
memperlkihatkan secara tidak langsung melalui kegelisahan, melamun, menangis,
kesukaran berbicara, dan tingkah yang gugup seperti menggigit kuku dan
menghisap jempol.
3.
Faktor
yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi
Sejumlah
penelitian tentang emosi anak menunjukkan bahwa perkembangan emosi mereka
bergantung pada faktor kematangan dan faktor belajar (Hurlock, 1960:266) dalam
(Perkembangan Peserta Didik (2002:156)). Reaksi emosional yang tidak muncul
pada awal kehidupan tidak berarti tidak ada, reaksi tersebut mengkin akan
muncul di kemudian hari, dengan berfungsinya sistem endokrin. Kematangan dan
belajar terjalin erat satu sama lain dalam mempengaruhi perkembangan emosi.
Perkembangan kelenjar endokrin penting untuk mematangkan perilaku emosional.
Kegiatan
belajar turut menunjang perkembangan emosi. Metode belajar yang menunjang
perkembangan emosi, antara lain:[2]
·
Belajar
dengan coba-coba
Anak
belajar secara coba-coba untuk mengekspresikan emosi dalam bentuk perilaku yang
memberikan pemuasan terbesar kepadanya, dan menolak perilaku yang memberikan
pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan kepuasan.
·
Belajar
dengan cara meniru
Dengan
cara mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi orang lain, anak-anak bereaksi
dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang-orang yang diamati.
·
Belajar
dengan cara mempersamakan diri (learning
by identification)
Anak
menirukan reaksi emosional orang lain yang tergugah oleh rangsangan yang sama
dengan rangsangan yang telah membangkitkan emosi yang ditiru. Disini anak hanya
menirukan orang yang dikagumi dan mempunyai ikatan emosional yang kuat
dengannya.
·
Belajar
Melalui Pengkondisian
Dengan
metode ini objek situasi yang pada mulanya gagal memancing reaksi emosional,
kemudian dapat berhasil dengan cara asosiasi. Pengkondisian terjadi dengan
mudah dan cepat pada tahun-tahun awal kehidupan karena anak kecil kurang mampu
menalar, kurang pengalaman untuk menilai situasi secara kritis, dan kurang
mengenal betapa tidak rasionalnya reaksi mereka.
·
Pelatihan
atau belajar di bawah bimbingan dan pengawasan, terbatas pada aspek reaksi.
Kepada anak
diajarkan cara bereaksi yang dapat diterima jika suatu emosi terangsang. Dengan
pelatihan, anak-anak dirangsang untuk bereaksi terhadap rangsangan yang
biasanya membangkitkan emosi yang menyenangkan dan decegah agar tidak bereaksi secara
emosional terhadap rangsangan-rangsangan yang membangkitkan emosi yang tidak
menyenangkan.
4.
Cara
yang Umum Menyalurkan Energi Emosional yang Terpendam[3]
a.
Kemurungan
Kemurungan
adalah keadaan emosi yang diperpanjang karena adanya energy emosi yang tertahan
dan emosi itu dibiarkan tetap menyala. Emosi yang tidak menyenangkan paling
mungkin ditahan, sehingga anak tampak merengut, tidak sehat, berdiam diri, atau
masgul. Mereka menjadi tidak bergairah dan berkerja dengan hasil dibawah
tingkat kemampuan mereka menjadi asik dengan diri dan perasaan mereka sendiri.
b.
Reaksi
pengganti
Energy
emosional dapat dilepaskan dengan mengganti reaksi emosional yang biasanya
dilakukan dengan reaksi yang lebih dapat diterima secara social. Sebagai
contoh, jika anak marah, mereka mungkin mengganti reaksi memukul atau menendang
dengan reaksi mencaci maki, atau meungkin melakukan sesuatu yang bermanfaat
atau konstruktif.
c.
Pemindahan
Dalam
pemindahan (displacement), reaksi emosional ditunjukkan kepada manusia,
binatang, atau obyek yang tidak ada hubungannya dengan rangsangan. Sebagai
contoh, anak yang marah bukannya memukul dan membentak orang yang telah
menimbulkan kemarahannya, tetapi menyerang korban yang tidak bersalah sebagai
kambing hitam.
d.
Regresi
Salah
satu diantara cara umum untuk mengekspresikan emosi yang terhalang pada masa
kanak-kanak ialah dengan regresi yaitu kembali ke bentuk perilaku sebelumnya,
bahkan yang infantile. Sebagai contoh, anak yang cembury mungkin ngompol di
tempat tidur atau menyatakan bahwa mereka masih harus dibantu untuk berpakaian.
e.
Letusan
emosi
Di
dalam letusan emosi, anak-anak bereaksi dengan hebat terhadap rangsangan yang
remeh. Apabila marah, maka mereka melakukan ledakan kemarahan di luar batas
kewajaran terhadap obyek yang telah membuat mereka marah. Karena anak-anak yang
lebih tua mengetahui bahwa mereka dituntut untuk mengembangkan toleransi
terhadap frustasi, letusan emosi mereka saling beralih menjadi rasa tidak
mamou, rasa bersalah, dan malu.
5.
Kondisi
yang Menunjang Timbulnya Emosionalitas yang Meninggi[4]
a.
Kondisi
fisik
Apabila
keseimbangan tubuh terganggu karena kelelahan, kesehatan yang buruk, atau
perubahan yang berasal dari perkembangan, maka anak akan mengalami
emosionalitas yang meninggi.
-
Kesehatan yang
memburuk, yang disebabkan oleh gizi buruk, gangguan pencernaan, atau penyakit.
-
Kondisi yang
merangsang, seperti kaligata atau eksim.
-
Setiap gangguan
yang kronis, seperti asma atau penyakit kencing manis.
-
Perubahan
kelenjare, terutama pada saat puber. Gangguan kelenjar mungkin juga disebabkan
oleh stress emosional yang kronis, misalnya pada kecemasan yang mengambang.
b.
Kondisi
psikologis
Pengaruh
psikologis yang penting antara lain tingkat intelegiensi, tingkat aspirasi, dan
kecemasan.
-
Perlengkapan
intelektual yang buruk. Anak yang tingkat intelektualnya rendah rata-rata
mempunyai pengendalian emosi yang kurang dibandingkan dengan anak yang pandai
pada tingkat umur yang sama.
-
Kegagalan
mancapai tingkat aspirasi. Kegagalan y6ang berulang-ulang mengakibatkan
timbulnya keadaan cemas, sedikit atau banyak.
-
Kecemasan
setelah pengalaman emosional tertentu yang sangat kuat. Sebagai contoh, akibat
lanjutan dari pengalaman yang menakutkan akan mengakibatkan anak takut kepada
setiap situasi mengancam.
c.
Kondisi
lingkungan
Ketegangan
yang terus-menerus, jadwal yang ketat, dan terlalu banyak pengalaman
menggelisahkan yang merangsang anak secara berlebihan.
-
Ketegangan yang
disebabkan oleh pertengkaran dan perselisihan yang terus menerus.
-
Kekangan yang
berlebihan, seperti disiplin yang otoriter.
-
Sikap orang tua yang
terlalu mencemaskan atau terlalu melindungi.
Suasana otoriter di sekolah. Guru yang terlalu menuntut atau pekerjaan
sekolah yang tidak sesuai dengan kemampuan anak akan menimbulkan kemarahan
sehingga anak pulang ke rumah dalam keadaan kesal.
6.
Perbedaan
Individual dalam Perkembangan Emosi
Meskipun pola perkembangan emosi dapat diramalkan,
tetapi terdapat perbedaan dalam segi frekuensi, intensitas, serta jangka waktu
dari berbagai macam emosi, dan juga saat pemunculannya. Perbedaan ini sudah
mulai terlihat sebelum masa bayi berakhir dan semakin bertambah frekuensinya
serta lebih mencolok sehubungan dengan bertambahnya usia anak. Dengan meningkatnya usia anak, semua emosi
diekspresikan secara lebih lunak karena mereka telah mempelajari reaksi orang
lain terhadap luapan emosi yang berlebihan, sekalipun emosi itu berupa
kegembiraan atau emosi yang menyenangkan lainnya. Selain itu karena anak-anak
mengekang sebagian ekspresi emosi mereka, emosi tersebut cenderung bertahan
lebih lama daripada jika emosi itu diekspresikan secara lebih terbuka. Oleh
sebab itu, ekspresi emosional mereka menjadi berbeda-beda.
Perbedaan
itu sebagian disebabkan oleh keadaan fisik anak pada saat itu dan taraf
kemampuan intelektualnya dan sebagian lagi disebabkan oleh kondisi lingkungan.
Anak yang sehat cenderung kurang emosional dibandingkan dengan anak-anak yang
kurang sehat. Ditinjau dari kedudukannya sebagai anggota kelompok, anak-anak
yang pandai bereaksi lebih emosional terhadap berbagai macam rangsangan
dibandingkan dengan anak-anak yang kurang pandai. Tetapi sebaliknya mereka juga
cenderung lebih mampu mengendalikan ekspresi emosi.[5]
7.
Peran
Gender[6]
Stereotipe
utama tentang gender dan emosi: perempuan emosional, laki-laki tidak emosional.
Stereotipe ini merupakan suatu citra yang kuat dan berkar dalam kebudayaan
kita. Keyakinan dan stereotipe telah menghasilkan perlakuan negatif kepada
perempuan karena jenis kelamin mereka. Perempuan kurang menerima perhatian yang
memadai di sekolah, kurang mendapat peran yang menonjol di televisi, jarang
digambarkan sebagai tokoh yang berkompeten dan dominan dalam buku anak-anak,
dibayar lebih murah daripada laki-laki sekalipun mereka lebih berpendidikan,
dan kurang terwakili dalam peran-peran pengambilan keputusan di seluruh
masyarakat kita.
Konsep
androgini, yakni keberadaan karakteristik maskulin dan feminin yang diinginkan
pada individu yang sama. Individu yang androginous dapat menjadi seorang
laki-laki yang tegas (maskulin) dan bersifat mengasuh (feminin), atau seorang
perempuan yang dominan (maskulin) dan sensitif kepada perasaan orang lain
(feminin). Dalam daftar peran jenis kelamin karya Bem, individu-individu
diklasifikasikan sebagai mempunyai satu dari empat orientasi peran gender:
maskulin, feminin, androginous, dan tidak terdiferensiasi (tidak memiliki
perbedaan). Individu yang androginous adalah sungguh-sungguh seorang perempuan
atau seorang laki-laki yang memiliki suatu tingkat yang tinggi baik sifat-sifat
feminin (ekspresif) maupun sifat-sifat maskulin. Individu yang androginous
digambarkan lebih fleksibel dan lebih sehat secara mental daripada individu
yang maskulin maupun individu yang feminin.
Kebudayaan
tempat si individu hidup juga memainkan suatu peran penting dan menentukan
begaimana menyesuaikan diri. Pada satu sisi, di Amerika Serikat dan
negara-negara modern lainnya, jumlah anak yang sedang dididik untuk berperilaku
dalam cara-cara yang androginous semakin meningkat. Pada sisi lain, peran-peran
gender tradisional terus mendominasi banyak negara di dunia.
8.
Metode
yang Menunjang Perkembangan Emosi
a.
Belajar
secara coba dan ralat
Belajar
secara coba dan ralat (trial dan error learning) terutama melibatkan aspek
reaksi. Anak belajar secara coba-coba untuk mengekspresikan emosi dalam bentuk
perilaku yang memberikan pemuasan terbesar kepadanya dan menolak perilaku yang
memberikan pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan pemuasan. Cara
belajar ini lebih umum digunakan pada masa kanak-kanak awal dibandingkan dengan
sesudahnya, tetapi tidak pernah ditinggalkan sama sekali.
b.
Belajar
dengan cara meniru
Belajar
dengan cara meniru (learning by imitation) sekaligus mempengaruhi aspek
rangsangan dan aspek reaksi. Dengan cara mengamati hal-hal yang membangkitkan
emosi tertentu pada orang lain, anak-anak bereaksi dengan emosi dan metode
ekspresi yang sama dengan orang yang diamati. Sebagai contoh, anak yang peribut
mungkin menjadi marah terhadap tegoran guru. Jika ia seorang anak yang populer
di kalangan teman sebaya, mereka juga akan ikut marah kepada guru tersebut.
c.
Belajar
dengan cara mempersamakan diri
Belajar
dengan cara mempersamakan diri (learning
by identification) sama dengan belajar secara menirukan yaitu anak menirukan
reaksi emosional orang lain dan tergugah oleh rangsangan yang sama dengan
rangsangan yang telah membangkitkan emosi yang ditiru. Metode ini berbeda dari
metode yang menirukan dalam dua segi. Pertama, anak yang menirukan orang yang
dikagumi dan mempunyai ikatan emosional yang kuat dengannya; kedua ialah
motivasi untuk menirukan orang yang dikagumi lebih kuat dibandingkan dengan
motivasi untuk menirukan sembarang orang.
d.
Belajar
melalui pengkondisian
Pengkondisian
(conditioning) berarti belajar dengan cara asosiasi. Dalam metode ini obyek
situasi yang pada mulanya gagal memandang reaksi emosional kemudian dapat
berhasil dengan cara asosiasi. Metode ini berhubungan dengan aspek rangsangan,
bukan dengan aspek reaksi.
e.
Pelatihan
Pelatihan
(training) atau belajar dibawah bimbingan dan pengawasan, terbatas pada aspek
reaksi. Kepada anak diajarkan cara bereaksi yang dapat diterima jika sesuatu
emosi terangsang. Dengan pelatihan, anak-anak dirangsang untuk bereaksi
terhadap rangsangan yang biasanya membangkitkan emosi yang menyenangkan dan
dicegah agar tidak bereaksi secara emosional terhadap rangsangan yang membangkitkan
emosi yang tidak menyenangkan. Hal ini dilakukan dengan cara mengendalikan
lingkungan anak bila memungkinkan.
9.
Peran
Orang Tua dan Pendidik dalam Mengembangkan Emosi
Pendidik dan Orang tua dapat
mengembangkan keterampilan kecerdasan emosional seorang anak dengan memberikan
beberapa cara[7]
yaitu:
a. Mengenali emosi diri anak , mengenali perasaan anak sewaktu
perasaan yang dirasakan terjadi merupakan dasar kecerdassan emosional.
kemampuan untuk memantau peraaan dari waktu kewaktu merupakan hal penting bagi
pemahahaman anak.
b. Mengelola emosi, menangani perasan anak agar dapat
terungkap dengan tepat kemampuan untuk menghibur anak , melepasakan kecemasan
kemurungan atau ketersinggungan, atau akibat – akibat yang muncul karena
kegagalan.
c. Memotivasi anak, penataan emosi sebagai alat untuk
mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting dalam keterkaitan memberi
perhatian dan kasih sayang untuk memotivasi anak dalam melakukan kreasi secara
bebas.
d. Memahami emosi anak.
e. Membina hubungan dengan anak, setelah kita melakukan
identifikasi kemudian kita mampu mengenali, hal lain yang perlu dilakukan untuk
dapat mengembangkan kecerdasan emosional yaitu dengan memelihara hubungan.
f. Berkomunikasi “dengan jiwa”, tidak hanya menjadi pembicara
terkadang kita harus memberikan waktu lawan bicara untuk berbicara juga dengan
demikian posisikan diri kita menjadi pendengar dan penanya yang baik dengan hal
ini kita diharapkan mampu membedakan antara apa yang dilakukan atau yang
dikatakan anak dengan reaksi atau penilaian.
10.
Implikasi
Untuk Kurikulum
Beberapa
hal berikut ini merupakan contoh dari aktivitas kelas yang dapat membantu
anak-anak:
-
Mintalah anak
untuk menggambarkan suatu situasi dimana rasa frustasu dan kemarahan seharusnya
ditangani dengan sewajarnya.
-
Menggunakan
boneka sebagai model yang tepat dalam memberi respon terhadap emosi.
-
Membantu
anak-anak belajar untuk mengakui tentang suatu hal dan memberi label terhadap
perasaan mereka sendiri ketika mereka mengambil bagian untuk ikut serta
beraktivitas di dalam kelas.
-
Memilih
literatur dimana setiap karakter bereaksi dengan emosi yang sewajarnya dan
mendiskusikan bagaimana mereka merasakan dan juga bagaimana mereka bertindak.
-
Memberikan rasa
empati bagi anak-anak yang merasa ketakutan dan juga membutujkan perhatian.
Mereka harus menjadi sesuatu yang nyata bagi anak dan tidak boleh meremehkan.
Izinkan anak-anak untuk
berbagi lelucon mereka, hargai setiap tahapan perkembangan rasa humor mereka.
[1]
Elizabeth B. Hurlock dalam “Perkembangan Anak Jilid I”. Hal:216
[2]
Prof. Dr. H. Sunarto dan Dra. Ny. B. Agung Hartono dalam “Perkembangan Anak
Peserta Didik” Hal:157
[3]
Elizabeth B. Hurlock dalam “Perkembangan Anak Jilid I”. Hal: 232
[4]
Elizabeth B. Hurlock dalam “Perkembangan Anak Jilid I”. Hal: 241
[5]Prof.
Dr. H. Sunarto dan Dra. Ny. B. Agung Hartono dalam “Perkembangan Anak Peserta
Didik”. Hal:164
[6]
John. W. Santrock dalam “Life Span Development Jilid I”. Hal:365
Subscribe to:
Posts (Atom)