Teori Thorndike
1.
Sejarah Teori
Edward Lee Thorndike
adalah seorang pendidik dan
psikolog yang berkebangsaan Amerika. Lulus S1 dari Universitas Wesleyen tahun
1895, S2 dari Harvard tahun 1896 dan meraih gelar doktor di Columbia tahun
1898.
Studinya yang paling banyak dibahas orang melibatkan
seekor kucing yang diletakkan di dalam ‘kotak masalah’. Kucing yang lapar
dikurung dalam sebuah kandang dengan sepotong daging atau ikan terpampang
diluarnya. Si kucing bisa membuka pintu kandang dengan menarik sebiah simpul
tali yang tergantung di dalam kandang. Biasanya kucing melakukan proses yang
lama dengan respon lainnya sebelum akhirnya ia menarik simpul tali dan mampu
meninggalkan kandang. Pada test-test berikutnya, kucing-kucing tersebut
memerlukan waktu yang semakin singkat untuk menarik tali tersebut. Semua ini menuntun
Thorndike pada kesimpulan bahwa dalam kegiatan kucing belajar menarik tali
tidak ada pemahaman yang ‘cerdas’ mengenai hubungan antara menarik tali dan
membuka pintu melainkan hanya suatu ‘penempaan (stamping in)’ koneksi stimulus-respon secara bertahap antara
melibat tali dan menariknya. Kucing ini mempelajari respon yang benar secara
bertahap.
Dari
eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) diketahui
bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan
untuk memilih respons yang tepat serta melalui usaha –usaha atau
percobaan-percobaan (trial) dan
kegagalan-kegagalan (error) terlebih
dahulu. Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya
asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan
respon (R ). Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang
menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau berbuat sedangkan
respon dari adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya
perangsang. Oleh
karena itu teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut
dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi.
Karakteristik belajar “trial & error” adalah sebagai berikut:
a.
Adanya motif pada diri
seseorang yang mendorong untuk melakukan sesuatu.
b.
Seseorang berusaha
melakukan berbagai macam respon dalam rangka memenuhi motif-motifnya.
c.
Respon-respon yang
dirasakan tidak bersesuaian dengan motifnya dihilangkan. Akhirnya seseorang
mendapatkan jenis respon yang paling tepat.
2.
Hukum-Hukum
Belajar Menurut Thorndike
Berdasarkan
percobaan yang dilakukan Thorndike dengan kucing, maka ia menyimpulkan
hukum-hukum dalam belajar. Hukum-hukum tersebut adalah:
a.
Hukum
Kesiapan (Law of Readiness)
Hukum ini
menyatakan bahwa semakin siap suatu organisme
memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut
akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.
Prinsip
ini menyatakan bahwa belajar
adalah suatu kegiatan membentuk
asosiasi (connection) antara kesan panca indera
dengan kecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik
pada suatu materi pembelajaran,
maka ia akan cenderung memperhatikannya.
b.
Hukum
Latihan (Law of Exercise)
Hukum yang kedua menyatakan bahwa semakin
sering tingkah laku diulang/ digunakan, maka
asosiasi tersebut akan semakin kuat. Hukum ini dapat juga
diartikan, suatu tindakan yang diikuti akibat yang menyenangkan, maka tindakan
tersebut cenderung akan diulangi pada waktu yang lain. Sebaliknya, suatu
tindakan yang diikuti akibat yang tidak menyenangkan, maka tindakan tersebut
cenderung akan tidak diulangi pada waktu yang lain. Dalam hal ini, tampak bahwa
hukum akibat tersebut ada hubungannya dengan pengaruh ganjaran dan hukuman.
Ganjaran yang diberikan guru kepada
pekerjaan siswa (misalnya pujian guru terhadap siswa yang dapat menyelesaikan
soal matematika dengan baik) menyebabkan peserta didik ingin terus melakukan
kegiatan serupa. Sedangkan hukuman yang diberikan guru atas pekerjaan siswa
(misalnya celaan guru terhadap hasil pekerjaan matematika siswa) menyebakan
siswa tidak lagi mengulangi kesalahannya. Namun perlu diingat, sering terjadi,
bahwa hukuman yang diberikan guru atas pekerjaan siswa justru membuat siswa
menjadi malas belajar dan bahkan membenci pelajaran matematika.
Thorndike juga mengemukakan konsep transfer
belajar yang disebutnya trasfer of training. Konsep ini maksudnya adalah
penggunaan pengetahuan yang telah dimiliki siswa untuk menyelesaikan suatu
masalah baru, karena di dalam setiap masalah, ada unsur-unsur dalam masalah itu
yang identik dengan unsur-unsur pengetahuan yang telah dimiliki. Unsur-unsur
yang identik itu saling berasosiasi sehingga memungkinkan masalah yang dihadapi
dapat diselesaikan. Unsur-unsur yang saling berasosiasi itu membentuk satu
ikatan sehingga menggambarkan suatu kemampuan. Selanjutnya, setiap kemampuan
harus dilatih secara efektif dan dikaitkan dengan kemampuan lain.
c.
Hukum
akibat (Law of
Effect)
Dalam hukum
ini, hubungan stimulus respon cenderung
diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya
koneksi sebagai hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan
cenderung dipertahankan dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu
perbuatan yang diikuti akibat tidak menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak
akan diulangi.
d.
Hukum
Reaksi Bervariasi (Multiple Response)
Hukum
ini mengatakan bahwa pada individu diawali oleh proses trial dan error yang
menunjukkan adanya bermacam-macam respon sebelum memperoleh respon yang tepat
dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
e.
Hukum
Sikap (Set/Attitude)
Hukum
ini menjelaskan bahwa perilakku belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh
hubungan stimulus dengan respon saja, tetapi juga ditentukan keadaan yang ada
dalam diri individu baik kognitif, emosi , sosial , maupun psikomotornya.
f.
Hukum
Respon by Analogy
Hukum
ini mengatakan bahwa individu dalam melakukan respon pada situasi yang belum
pernah dialami karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang
belum pernah dialami dengan situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi
transfer atau perpindahan unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru. Makin banyak unsur yang sama maka transfer akan makin
mudah.
g.
Hukum
Perpindahan Asosiasi (Associative Shifting)
Hukum
ini mengatakan bahwa proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang
belum dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan sedikit demi
sedikit unsur baru dan membuang sedikit demi sedikit unsur lama.
3.
Ciri-Ciri Teori
Behavioristik Thorndike
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan teori
behavioristik adalah ciri-ciri kuat yang mendasarinya, yaitu:
a. Mementingkan pengaruh
lingkungan
b. Mementingkan
bagian-bagian
c. Mementingkan peranan
reaksi
d. Mengutamakan mekanisme
terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus respon
e.
Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk
sebelumnya
f.
Mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latihan dan
pengulangan
g.
Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang
diinginkan.
Sebagai konsekuensi teori ini, para guru yang menggunakan
paradigma behaviorisme akan menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah
siap, sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara
utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberi ceramah, tetapi instruksi singkat yng
diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi. Bahan
pelajaran disusun secara hierarki dari yang sederhana samapi pada yang
kompleks.
Tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian kecil yang
ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu. Pembelajaran
berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Kesalahan harus segera
diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan
dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori
behavioristik ini adalah tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku
yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai
mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku
yang tampak.
4.
Penerapan Teori
Thorndike dalam Pembelajaran Matematika Kelas 3 SD
Menurut
Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara
peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R ). Para guru yang menggunakan paradigma behaviorisme akan
menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan
pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Berikut ini
ilustrasi proses belajar dengan umpan balik dalam pembelajaran matematika pada siswa kelas 3 SD.
SK : 1.Melakukan operasi hitung bilangan sampai tiga angka.
KD : 1.3.
Melakukan perkalian yang hasilnya bilangan tiga angka dan pembagian bilangan
tiga angka
Proses Pembelajaran:
a. Siswa dibagi dalam beberapa kelompok. Setiap kelompok beranggotakan 5
orang.
b. Setiap kelompok diberi satu amplop yang berbeda warna antar satu kelompok
dengan kelompok lainnya. Di dalam amplop tersebut terdapat soal-soal yang harus
siswa kerjakan.
c. Siswa diminta untuk mengerjakan soal-soal tersebut pada kertas yang telah
disediakan tanpa bertanya pada guru dan tanpa diberikan bimbingan. Sehingga
hasil yang diperoleh adalah kemampuan dasar siswa.
d. Siswa bersama-sama mencocokkan jawaban dari soal yang telah dikerjakan.
e. Siswa diberikan amplop ke 2 yang kali ini berisi soal yang sama antar satu
kelompok dengan kelompok lainnya. Setiap selesai mengerjakan satu soal, siswa
diberitahu jawabannya sampai seluruh soal selesai dikerjakan dan dicocokkan
jawabannya. Hasil yang diperoleh adalah kemampuan selama latihan.Siswa
diberikan amplop ke 3 yang juga berisikan soal-soal, kemudian diminta untuk
mengerjakannya tanpa diberikan .
Apabila hasil belajar selama training lebih baik dari
kemampuan dasar, maka telah terjadi proses belajar.. Hal ini seperti yang dilakukan Thorndike pada kucing percobaannya. Siswa
diberikan beberapa soal latihan dan pada akhirnya siswa pun mampu mengerjakan
soal latihan yang diberikan.
Selain itu, latihan selama latihan
juga disertai umpan balik. Umpan balik
menginformasikan bahwa hasil perkalian yang dilakukan adalah benar atau
salah. Dengan mengetahui efek dari tindakan yang dilakukan dapat mendorong perubahan
tindakan.imbingan lagi. Hasil yang diperoleh adalah
kemampuan setelah latihan.