I. Pengertian Model
Pembelajaran
Model diartikan sebagai suatu objek atau konsep yang
digunakan untuk mempresentasikan suatu hal. Sesuatu yang nyata dan dikonversi
untuk sebuah bentuk yang lebih komprehensif.[1]
Model dapat dipahami sebagai: (1) suatu tipe atau desain;
(2) suatu deskripsi atau analogi yang dipergunakan untuk membantu proses
visualisasi sesuatu yang tidak dapat dengan langsung diamati; (3) suatu sistem
asumsi-asumsi, data-data, dan inferensi-inferensi yang dipakai untuk
menggambarkan secara matematis suatu obyek atau peristiwa; (4) suatu desain
yang disederhanakan dari suatu sistem kerja, suatu terjemahan realitas yang
disederhanakan; (5) suatu deskripsi dari suatu sistem yang mungkin atau
imajiner; dan (6) penyajian yang diperkecil agar dapat menjelaskan dan
menunjukkan bentuk aslinya.[2]
Menurut Alan Pritchard, definisi pembelajaran adalah “the
individual process of constructing understanding based on experience from a
wide range of source.”[3]
Jadi, pembelajaran adalah proses individual dalam membangun pengetahuan yang
berdasarkan pada pengalaman dari sumber yang luas.
Model pembelajaran adalah merupakan sebuah perencanaan pembelajaran
yang menggambarkan proses yang akan ditempuh saat kegiatan pembelajaran agar
dicapai perubahan spesifik pada siswa seperti yang diharapkan. Bruce Joyce dan
Marsha Weil menyatakan bahwa “a model of
teaching is a description of a learning environment.”[4]
Model pembelajaran adalah gambaran dari sebuah lingkungan belajar. Gambaran
lingkungan belajar ini memiliki banyak manfaat, mulai dari perencanaan
kurikulum, mata pelajaran, dan untuk menyusun materi pelajaran.
3
|
Model pembelajaran dapat dianggap sebagai sebuah bentuk
cetak biru untuk mengajar[5].
Guru adalah seorang pelaksana kegiatan belajar mengajar yang bertanggung jawab
secara menyeluruh terhadap pencapaian tujuan pembelajaran pada siswanya. Akan
tetapi, model mengajar bukanlah pengganti keterampilan mengajar. Model mengajar
merupakan kerangka konseptual yang mendeskripsikan dan melukiskan prosedur yang
sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar dan pembelajaran untuk
mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi
perencanaan pengajaran bagi para guru dalam melaksanakan aktivitas
pembelajaran.
II. Ciri-Ciri Model
Pembelajaran
Model pembelajaran yang baik memiliki ciri-ciri yang secara umum sebagai
berikut:
a. Memiliki prosedur yang sistematik.
Sebuah model pembelajaran
bukan sekedar gabungan berbagai fakta yang disusun secara sembarangan.[6]
Model pembelajaran merupakan sebuah prosedur
yang sistematik untuk memodifikasi perilaku siswa, yang didasarkan pada
pemikiran-pemikiran tertentu.
b. Hasil belajar ditetapkan secara khusus
Tiap model
pembelajaran menentukan tujuan-tujuan hasil belajar yang secara khusus telah
disusun secara rinci. Bentuk tujuan hasil belajar ini adalah unjuk kerja yang
dapat diamati.
c. Penetapan lingkungan secara khusus
Guru memiliki hak
untuk menetapkan keadaan lingkungan secara spesifik dalam model pembelajaran
yang digunakannya.
d. Ukuran keberhasilan
Model harus
menetapkan kriteria keberhasilan suatu unjuk kerja yang diharapkan dari siswa.[7] Model
pembelajaran selalu menggambarkan dan menjelaskan hasil-hasil belajar dalam
bentuk perilaku dan kognitif yang seharusnya ditunjukkan oleh siswa setelah
menempuh dan menyelesaikan proses pembelajaran.
e. Interaksi dengan lingkungan
Semua model pembelajaran
menentukan cara yang dapat membuat siswa melakukan interaksi dan bereaksi
dengan lingkungan sekitarnya. Interaksi dengan lingkungan merupakan hal yang
sangat penting dalam pembelajaran IPS bagi siswa.
III. Tujuan Model
Pembelajaran
National Council for The Social Studies (NCSS) menyatakan bahwa “The
primary purpose of social studies is to help young people develop the ability
to make informed and reasoned decision for the public good as citizen of a
culturally diverse, democratic society in an interdependent world.”[8] Jadi,
tujuan utama dari pembelajaran IPS adalah untuk membantu anak-anak
mengembangkan kemampuan membuat informasi dan keputusan yang beralasan untuk
menjadi warga negara yang baik dengan keragaman budaya didalamnya, sehingga
menjadi masyarakat yang hidup secara demokratis.
Tujuan model pembelajaran terpusat pada pembelajaran
siswa. Banyak guru menekankan
tujuan tersebut sebagai bagian dari terciptanya
pengalaman dalam rencana pelaksanaan pembelajaran untuk siswa di dalam kelas. Bila tujuan pembelajaran dilakasanakan sesuai dengan
apa yang direncanakan, dipastikan akan tercipta hasil yang diharapkan dari
materi dan bahan-bahan pelajaran yang diberikan. Berikut ini adalah gambaran
secara lengkap mengenai hal-hal tersebut.
A. Tujuan
“Aims are broad statements that
establish a general sense of direction for school programs.”[9] Hal ini
berarti tujuan merupakan hal yang menentukan berjalan
atau tidaknya suatu petunjuk dalam suatu program sekolah.
Terkadang
perkembangan tujuan yang diciptakan oleh pendidik diperdebatkan. Hal ini
terjadi karena tidak semua orang memiliki pandangan yang sama mengenai tujuan
pendidikan yang seharusnya dilaksanakan.
Contoh
:
-
Memecahkan dan menunjukkan
penyelesaian suatu masalah
-
Membangun keahlian dalam
jiwa sosial
-
Memahami karakteristik
sejarah , budaya, ekonomi, dan politik yang ada. Baik itu dalam negara sendiri,
maupun pada belahan dunia lainnya
B. Hasil Pembelajaran yang
Diharapkan
Menurut Tom. V. Savage dan David. G. Armstrong, “Goals are narrower statements of purpose than aims.”[10] Hasil
pembelajaran yang diharapkan merupakan pernyataan yang lebih sempit daripada
tujuan. Hasil pembelajaran ini merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai.
Tujuan akhir ini seringkali ditentukan oleh bagaimana kemampuan dari sekolah
itu sendiri. Hal ini biasanya
ditentukan oleh dewan pengurus sekolah, bagian
kurikulum, atau bagian pemilihan materi yang akan diselenggarakan. Tujuan
akhir ini membantu guru untuk menetapkan kegiatan pembelajaran yang menjadi
tanggung jawab guru.Dibawah ini merupakan contoh tujuan
akhir pembelajaran:
-
Mempelajari ciri-ciri utama
suatu daerah melalui geografi
-
Memahami bahwa sejarah
merupakan penggambaran kejadian yang terjadi di masa lalu
C. Hasil akhir pembelajaran
yang diinginkan
Tom. V. Savage dan David. G. Armstrong menyatakan bahwa “Intended learning outcomes provide teachers
with guidance regarding what to teach and how to teach it. They also at
specificity to teachers attemps to communicate with parents and others about
their instructional intents.”[11] Jadi, hasil
pembelajaran yang diinginkan ditetapkan guru dengan perhatian mengenai apa yang akan diajarkan dan
bagaimana mengajarkannya. Bahkan seringkali guru juga berusaha mengkomunikasikan
yang ia lakukan di kelas
pada orangtua dan orang-orang mengenai bahan-bahan pelajaran yang guru maksud.
Hasil akhir dari bahan pelajaran dapat membantu guru ketika mereka
merencanakan unit pengajaran untuk pelajar dengan kelompok khusus. Contoh dari
hasil akhir pembelajaran untuk IPS sekolah dasar yaitu:
-
Membedakan fakta dengan
opini
-
Menggambarkan
langkah-langkah dari penyelesaian pada suatu masalah tertentu
-
Menunjukkan sikap
menghormati pendapat orang lain.
IV. Fungsi Model
Pembelajaran
Beberapa fungsi
dari model pembelajaran adalah:
a. Pedoman
Model pembelajaran berfungsi
sebagai pedoman yang dapat menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh guru.
Dengan memiliki rencana pengajaran yang bersifat menyeluruh, guru diharapkan
dapat membantu siswa untuk mencapai tujuan-tujuan pembelajaran.
b. Pengembangan kurikulum
Model pembelajaran
dapat membantu dalam pengembangan kurikulum, karena pada dasarnya tiap mata
pelajaran yang ada selalu memiliki materi yang berkesinambungan. Dalam hal
inilah model pembelajaran dibutuhkan sebagai cara agar siswa terbantu dalam
menerima pelajaran.
c. Menetapkan bahan-bahan pengajaran
Model pembelajaran
menetapkan secara rinci bentuk-bentuk bahan pengajaran yang berbeda. Bahan
pengajaran ini akan digunakan guru dalam membantu perubahan kearah yang lebih
baik. Baik bagi perkembangan kognitif, maupun perkembangan kepribadian siswa.
d. Membantu perbaikan dalam mengajar
Model pembelajaran
dapat membantu proses pembelajaran dan meningkatkan keefektifan kegiatan
pembelajaran.
V. Klasifikasi
Model-Model Pembelajaran
Ada
sejumlah pandangan atau pendapat berkenaan dengan model pembelajaran yang perlu
dikaji. Beberapa model
pembelajaran tersebut antara lain:
A.
Model-Model Pembelajaran Menurut Arends
Arends dan pakar model pembelajaran yang lain
berpendapat, bahwa tidak ada satu model pembelajaran yang paling baik diantara
satu dengan yang lainnya, karena masing-masing model pembelajaran dapat
dirasakan baik, apabila telah diujicobakan untuk mengajarkan materi pelajaran
tertentu.
Arends menyeleksi enam model pengajaran yang sering dan
praktis digunakan guru dalam mengajar, yaitu: presentasi, pengajaran langsung,
pengajaran konsep, pembelajaran kooperatif, pengajaran berdasarkan masalah, dan
diskusi kelas.[12]
Tabel Ikhtisar dan Perbandingan Model-model Pengajaran
Ciri-ciri Penting
|
Pengajaran Langsung
|
Pembelajaran Kooperatif
|
Pengajaran Berrdasarkan Masalah
|
Strategi-strategi Belajar
|
Landasan Teori
|
Psikologi
Perilaku; Teori Belajar Sosial
|
Teori Belajar
Sosial; Teori Konstruktivis
|
Teori Kognitif;
Teori Konstruktivis
|
Teori Pemrosesan
Informasi
|
Pengembangan
Teori
|
Bandura;
Skinner
|
Dewey;
Vygotsky; Slavin; Piaget
|
Dewey;
Vygotsky; Piaget
|
Bruner;
Vygotsky; Shiffrin; Atkinsons
|
Hasil Belajar
|
Pengetahuan
deklaratif dasar; keterampilan akademik
|
Keterampilan
akademik dan sosial
|
Keterampilan
akademik dan inkuiri
|
Keterampilan
kognitif dan metakognitif
|
Ciri Pengajaran
|
Presentasi dan
demonstrasi yang jelas dari materi ajar, analisis tugas & tujuan perilaku
|
Kerja kelompok
dengan ganjaran kelompok dan struktur tugas
|
Proyek
berdasarkan inkuiri yang dikerjakan dalam kelompok
|
Pengajaran
resiprokal
|
Karakteristik
Lingkungan
|
Terstruktur
secara ketat, lingkungan berpusat pada guru
|
Fleksibel,
demokratik, lingkungan berpusat pada guru
|
Fleksibel,
lingkungan berpusat pada inkuiri
|
Reflektif, menekankan
pada belajar dan bagaiman belajar
|
B.
Model-Model Pembelajaran Menurut Bruce Joyce dan Marsha
Weil
Bruce Joyce dan Marsha Weil mendeskripsikan empat
kategori model pembelajaran, yaitu kelompok model sosial (social family), kelompok pengolahan informasi (information processing family), kelompok model personal (personal family), dan kelompok model
sistem perilaku (behavioral systems
family).[13]
1.
Model yang Berorientasi pada Interaksi Sosial (The Social Family)
Model dari kategori ini menekankan pentingnya hubungan
sosial yang berkembang dalam proses interaksi sosial diantara individu.[14] Penggunaan rumpun model interaksi sosial
ini menitik beratkan pada pengembangan kemampuan kerjasama dari para siswa. Model yang berorientasi pada interaksi sosial dimaksudkan
sebagai upaya memperbaiki masyakarakat dengan memperbaiki hubungan-hubungan
interpersonal melalui prosedur demokratis.
Langkah yang ditempuh guru dalam model ini adalah:
-
Guru melemparkan masalah
dalam bentuk situasi sosial kepada para siswa.
-
Siswa dengan bimbungan
guru menelusuri berbagai macam masalah yang terdapat dalam situasi tersebut.
-
Siswa diberi tugas atau
permasalahan untuk dipecahkan, dianalisis, dikerjakan yang berkenaan dengan
situasi tersebut.
-
Dalam memecahkan masalah
belajar tersebut siswa diminta untuk mendiskusikannya.
-
Siswa memuat kesimpulan
dari hasil diskusinya.
-
Pembahasan kembali
hasil-hasil kegiatannya.[15]
Di dalam famili model interaksi sosial terdapat dua model
pembelajaran, yaitu:
a. Model Investigasi Kelompok
Model ini dikembangkan oleh John Dewey dan Herbert
A.Thelen yang menggabungkan pandangan-pandangan proses sosial yang demokratik
dengan penggunaan strategi-strategi ilmiah untuk membantu manusia menciptakan
pengetahuan dan masyarakat yang teratur dengan baik.
Penerapan model ini dimulai dengan menghadapkan siswa
kepada masalah, yang muncul dari sumber yang berbeda-beda. Masalah itu bisa
merupakan bagian dari suatu pengalaman. Permasalahan yang dihadirkan dapat
disediakan oleh guru ataupun muncul dari kelas. Jika ada siswa bereaksi
terhadap masalah tersebut maka guru menarik perhatian mereka terhadap reaksi
yang berbeda. Jika siswa telah menunjukkan minat terhadap reaksi-reaksi yang
berbeda itu maka guru mendorong siswa untuk merumuskan masalah untuk diri
mereka. Setelah dirumuskan siswa mengkajinya dengan memperhatikan peranan dan
mengorganisasi dirinya, kemudian bertindak dan melaporkan hasilnya.
Beberapa hal yang dapat ditarik dari model ini adalah:
1.
Sistem sosial. Model ini
bersifat demokratik, karena masalah tidak hanya dimunculkan oleh guru, tetapi
bisa juga muncul dari siswa. Guru dan siswa memiliki status yang sama.
2.
Prinsip-prinsip
reaksinya adalah guru bertindak sebagai konselor tanpa mengganggu struktur yang
ada.[16]
3.
Sistem yang menunjang.
Dukungan yang diberikan guru bersifat ekstensif dan responsif terhadap apa yang
dibutuhkan siswa. Disamping itu hubungan dan kontak dengan lembaga-lembaga di
luar sekolah dan orang-orang yang ada di sekitar siswa juga diperlukan oleh
siswa untuk memecahkan masalah yang menjadi fokus pelajaran.
4.
Model dapat digunakan
untuk semua bidang pelajaran dan juga dapat digunakan sebagai aspek di dalam
merumuskan dan memecahkan masalah siswa.
b. Model Inkuiri Sosial
Model ini dikembangkan oleh Bryron Massialas dan Benyamin
Cox. Secara umum inkuri dapat diartikan mengembangan kemampuan siswa untuk
memikirkan secara sungguh-sungguh dan terarah serta merefleksikan hakekat
sosial kehidupan, khususnya kehidupan siswa sendiri dan arah kehidupan
masyarakat dalam upaya memecahkan masalah-masalah sosial.
Enam langkah dalam penerapan model ini, yaitu:
1.
Orientasi terhadap
masalah
2.
Menyusun hipotesis
3.
Melakukan perumusan dan
pembatasan masalah
4.
Melakukan eksplorasi
5.
Mengumpulkan fakta-fakta
dan data berdasarkan hasil analisis yang dirumuskan.
6.
Generalisasi atau
pernyataan terhadap masalah.[17]
Dalam penerapan model ini prinsip reaksi guru adalah
membantu siswa dalam ber-inkuiri dan menjelaskan posisi siswa. Selain itu juga
membantu siswa dalam membuat rencana dan memperbaiki cara kerjanya.
2.
Model-Model yang Berorientasi pada Pemrosesan Informasi (The Infomation-Processing Family)
Model mengajar yang dikembangkan oleh Hilda Taba ini
menekankan pada pentingnya mengajarkan bagaimana cara siswa untuk memberi
respon terhadap informasi yang datang dari lingkungannya.
Model-model pembelajaran ini bertolak dari prinsip-prinsip
pengolahan informasi oleh manusia . Kelompok
model ini menekankan pada peserta didik agar memilih kemampuan untuk memproses
informasi sehingga peserta didik yang berhasil dalam belajar adalah yang
memiliki kemampuan dalam memproses informasi.
Model pemrosesan
informasi ini secara umum dapat diterapkan pada sasaran belajar dari berbagai
usia dalam mempelajari individu masyarakat.
Di dalam famili model interaksi sosial terdapat dua model
pembelajaran, yaitu:
a. Model Mengajar Induktif
Model mengajar induktif telah dikembangkan oleh Hilda
Taba di dalam studi eksperimennya yang dilakukan di Sekolah Centra Costa. Dalam
eksperimennya, ia mengemukakan tiga anggapan dasar tentang proses berpikir,
yaitu:
·
Anggapan dasarnya yang
pertama adalah berpikir dapat diajarkan.
·
Kedua, berpikir adalah
transaksi aktif antara individu dengan data, sedangkan proses interaktif adalah
belajar di kelas yang difasilitasi oleh guru dengan mengandalkan bahan-bahan
belajar, dimana siswa melakukan proses kognitif dan mengorganisasikan
fakta-fakta ke dalam konsep kemudian menarik generalisasi tertentu, sampai
merumuskan jawaban sementara, meramalkan dan menjelaskan gejala-gejala yang
tidak dikenali.
·
Anggapan dasar ketiga
adalah dalam proses berpikir mengembangakan dalam susunan urutan-urutan yang
teratur dan urutan itu tidak dapat dilakukan secara sebaliknya.[18]
Tugas utama guru adalah membantu siswa untuk memproses
data dengan cara yang lebih kompleks dan meningkatkan kemampuan umumnya dalam
memproses data. Secara keseluruhan model ini dapat digunakan untuk meningkatkan
kemampuan berpikir siswa. Model ini dapat pula diaplikasikan dalam berbagai
mata pelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir produktif dan kreatif.
b. Model Pemrolehan Konsep
Model ini dikembangkan oleh Jerome. S. Bruner, Jacqueline
Goodrow, dan George Austin. Model ini lahir dari studi tentang proses berpikir
manusia.[19]
Pemrolehan konsep berproses melalui empat fase seperti berikut:
1.
Fase pertama
Pada
fase pertama, data dipresentasikan kepada siswa. Data, mungkin saja tentang
kejadian-kejadian. Dalam hal ini siswa didorong untuk menarik konsep atau
prinsip-prinsip yang membedakan yang digunakan atas dasar penyeleksian
unit-unit.
2.
Fase kedua
Tahapan
pada fase ini dimulai dengan menganalisis strategi-strategi untuk memperoleh
konsep. Beberapa siswa akan mulai dengan gagasan umum dan secara bertahap
mempersempit menjadi lebih khusus dalam pernyataan konsepnya.
3.
Fase ketiga
Pada
fase ini, siswa mengkaji jenis-jenis konsep dan atribut-atributnya dalam
berbagai jenis bahan yang sesuai dengan usia dan pengalamannya. Semakin
meningkat usia siswa semakin meningkat pula kerumitan pengembangan konsep.
4.
Fase keempat
Pada
tahapan ini, siswa mencoba membentuk konsep-konsep, oleh karena itu model ini
disebut juga “concept formation” atau
“concept learning” dan mengajarkannya
pada orang lain untuk memperoleh konsep melalui bermain.
Pada tahap akhir model, siswa menganalisis konsep dan
strategi yang telah ditempuhnya. Model ini mensyaratkan bahwa bahan-bahan itu
telah disusun sehingga konsep-konsep yang telah ada melekat pada bahan yang
diajarkan.[20]
c. Model Mengajar Pengembangan
Model ini dikembangkan oleh Piaget. Ada dua strategi,
yang pertama menggunakan gambar perkembangan untuk mendorong segala sesuatu
yang dilakukan sesuai dengan pendidikan untuk anak muda pada tingkatan
pengembangannya setiap waktu. Yang kedua adalah menggunakan pola-pola
pengembangan untuk menggerakkan strategi mengajar atau mempercepat agar ha itu
terjadinya lebih cepat diabndingkan dengan jika tidak diberikan intervensi.[21]
Model mengajar yang dikembangkan Piaget ini dilaksanakan
dalam dua tahapan di kelas, yaitu:
·
Tahap pertama, guru
menampilkan keadaan dimana siswa dihadapkan dengan pikiran yang tidak logis
atau dengan masalah yang membingungkannya. Situasi yang dihadapi harus dikenal
siswa agar memungkinkan ia melakukan asimilasi dengan sesuatu yang baru yang
perlu diakomodasi.
·
Tahap kedua, guru
menyedian petunjuk untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Yang terpenting
dalam model ini adalah menciptakan lingkungan yang kondusif dalam kelas.[22]
Guru harus menyediakan lingkungan fisik dan sosial yang
cocok dengan tingkat perkembangan siswa. Siswa harus dapat secara bebas berinteraksi
dengan siswa lain dan juga dengan guru. Tugas guru adalah menciptakan lingkungan
yang kondusif. Guru juga membimbing siswa untuk berinkuiri.
Model ini dapat digunakan dalam pengembangan aspek
kognitif dan sosial siswa, bahkan juga dapat digunakan dalam semua bidang studi
dimana masalah berpikir muncul.
d. Model Menyusun yang Lebih Maju
Model ini dikembangkan oleh David Ausubel. Model ini
menampilkan sebuah teori tentang cara memproses informasi agar kegiatan belajar
yang dilakukan menjadi bermakna bagi siswa. Peta intelektual dapat digunakan
untuk menganalisis domain khusus dan untuk memecahkan masalah-masalah dalam
domain-domain kegiatan tersebut.
Guru diharapkan dapat menyampaikan body of knowledge yang stabil sedemikian rupa agar siswa dapat
menggabungkannya dengan sistemnya sendiri sehingga pengetahuan yang didapatnya menjadi
“miliknya yang berguna.”
3.
Model yang Berorientasi pada Pribadi (The Personal Family)
Model ini didasarkan pada asumsi
bahwa seseorang adalah sumber pendidikan. Model-model dalam kelompok ini
memusatkan perhatiannya pada individu dan kebutuhannya.[23] Secara keseluruhan,
model ini berusaha memahami sifat-sifat individu guna meningkatkan pribadi dan
kemampuannya beserta menghubungkannya dengan hal-hal produktif lainnya.
Model-model dalam kategori ini ada
dua, yang pertama adalah “Non Directive
Teaching Model” dan “Classroom
Meeting Model”.
a. Model Mengajar Bebas
Model ini dikembangkan oleh Carl Rogers. Anggapan pokok
yang mendasari modelnya adalah bahwa setiap individu dapat mengatasi sendiri
masalah kehidupannya dengan cara-cara yang konstruktif.
Model mengajar yang berorientasi pada siswa ini akan
melalui dua tahapan dalam menerapkannya, yaitu:
·
Tahapan pertama adalah
menciptakan suasana yang tepat di kelas oleh guru.
·
Tahapan kedua adalah
mengembangkan tujuan-tujuan individual atau kelompok.
Suasana yang dapat diterima dapat diciptakan oleh guru
melalui diskusi dengan siswa untuk membantunya melahirkan masalah. Masalah ini
nantinya akan dibahas secara bersama-sama untuk menemukan pemecahannya. Guru
dalam model yang menekankan pada siswa ini tidak membuat siswa merasa terikat.
Siswa memprakarsai sendiri kegiatan-kegiatan belajar yang muncul dari proses
interaktif.
b. Model Pertemuan Kelas
Model ini dikembangkan oleh Robert Glasser. Ada 6 tahapan yang dilalui dalam model ini.
Tahapan-tahapan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.
Menciptakan suasana
untuk terlibat.
2.
Mengajukan masalah untuk
didiskusikan.
3.
Melakukan penilaian dan
pertimbangan tentang perilaku mereka.
4.
Guru dan siswa secara
bersama menetapkan alternatif pemecahan.
5.
Guru mendorong siswa
untuk bertanggung jawab (komitmen).
6.
Menindaklanjuti
keputusan yang telah diambil.[24]
Dalam melaksanakan model ini di kelas, perilaku guru
paling tidak dipandu oleh tiga dasar; pertama adalah prinsip keterlibatan
secara aktif yang berarti bahwa guru harus memperlihatkan kehangatan,
menunjukkan perhatian dan hubungan yang peka dengan siswanya. Prinsip kedua
adalah guru harus mendorong siswanya menerima tanggung jawab untuk mendiagnosis
perilakunya sendiri dan teman kelasnya. Prinsip ketiga adalah upaya kerjasama yang
dilakukan antara guru dengan siswa untuk mengenali, memilih dan mengikuti
dengan perilaku yang baik.
Model ini menuntut siswa untuk memprakarsai masalah dan
mendiskusikannya secara bersama-sama, kemudian mencari pemecahannya. Posisi
guru disini adalah sebagai pemimpin, namun tetap tanpa penilaian
(non-judgemental).
Keberhasilan model ini sangat bergantung pada kualifikasi
pribadi guru kelas. Guru harus memiliki
kepribadian yang hangat dan bersahabat, baik antara pribadi maupun dalam teknik
diskusi kelompok.
4.
Kelompok Model Sistem Perilaku (The Behavioral Systems Family)
Model mengajar ini dilaksanakan oleh B.F.Skinner. Aktivitas
pembelajaran menurut model ini harus ditujukan pada timbulnya perilaku baru
atau berubahnya perilaku siswa ke arah yang sejalan dengan harapan. Penggunaan
model dalam mengajar di kelas didasari oleh langkah-langkah sebagai berikut:
·
Langkah pertama adalah
memberikan rangsangan (stimulus). Teori ini didasarkan pada pandangan bahwa
belajar itu dilakukan secara bertahan dengan langkah-langkah kecil dan respon
terhadap stimulus itu akan mempengaruhi perilaku siswa.
·
Langkah kedua, siswa
merespon bahan pengajaran yang terdapat pada fase pertama. Siswa membaca
jawaban dan merespon dengan menyusun sendiri responnya. Dengan segera siswa
terlibat secara aktif dalam proses belajar.
·
Langkah ketiga, respon
(jawaban) siswa adalah penguatan dan menunjukkan dengan segera respon yang
benar. Penguatan itu dapat juga digunakan dengan tempo yang bervariasi
bergantung pada bentuk belajar. Dalam pelaksanaannya guru adalah pemrakarsa dan
pengendali proses pengajaran. [25]
Jika dengan menggunakan model tersebut siswa tidak dapat
belajar maka kesalahannya bukan terletak pada model, tetapi pada manusia yang
mengembangkan program tersebut.
C.
Model Pembelajaran Kooperatif
Dalam belajar kooperatif siswa belajar bersama sebagai
suatu tim dalam menyelesaikan tugas-tugas kelompok untuk mencapai tujuan
bersama.[26]
Jadi, setiap anggota kelompok mempunyai
tanggung jawab yang sama untuk keberhasilan kelompoknya.
Dalam kelas kooperatif, siswa belajar bersama dalam
kelompok-kelompok kecil. Setiap kelompok memiliki anggota yang sederajat tetapi
heterogen, baik itu kemampuannya, jenis kelamin, suku/ras. Model
pembelajaran kooperatif memungkinkan siswa dapat belajar dengan cara bekerja
sama dengan teman.Tujuan dari model
pembelajaran ini adalah:
·
Memberikan kesempatan
kepada semua siswa untuk dapat terlibat secara aktif dalam proses berpikir dan
kegiatan belajar.
·
Memaksimalkan belajar
siswa untuk peningkatan prestasi akademik dan pemahaman baik secara individu
maupun secara kelompok.
·
Memberikan siswa
kesempatan untuk dapat bersosialisasi dengan teman-temannya.
Manfaat dari model pembelajaran ini antara lain dapat mengurangi
kesenjangan pendidikan khususnya dalam wujud input pada level individual.
Disamping itu, pembelajaran ini juga dapat mengembangkan solidaritas sosial
pada diri siswa. Solidaritas sosial ini secara tidak langsung datang pada diri siswa ketika ada teman yang lemah
dibantu oleh temannya yang lebih mampu dalam menerima materi.
Kelompok
Belajar Kooperatif
|
Kelompok
Belajar Konvensional
|
Adanya saling
ketergantungan positif, saling membantu, dan saling memberikan motivasi
|
Guru sering
membiarkan adanya siswa yang memndominasi kelompok atau menggantungkan diri
pada kelompok
|
Kelompok
belajar heterogen
|
Kelompok
belajar biasanya homogen
|
Pimpinan
kelompok dipilih secara demokratis atau bergilir untuk memberikan pengalaman
memimpin bagi para anggota kelompok
|
|
Keterampilan
sosial yang diperlukan dalam kerja gotong royong
|
Keterampilan
sosial sering tidak secara langsung diajarkan
|
Penekanan tidak
hanya pada penyelesaian tugas tetapi
juga hubungna interpersonal
|
Penekanan
sering hanya pada penyelesaian tugas
|
Guru
memerhatikan secara proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok
belajar
|
Guru sering
tidak memerhatikan proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok
belajar
|
Guru terus
melakukan pemantauan melalui observasi selama pembelajaran berlangsung
|
Guru sering
tidak melakukan pemantauan melalui observasi selama pembelajaran berlangsung
|
Terdapat beberapa unsur penting dalam model pembelajaran kooperatif, yaitu:
1.
Saling ketergantungan
yang bersifat positif diantara siswa. Dalam belajar kooperatif siswa merasa
bahwa mereka sedang bekerja sama untuk mencapai satu tujuan dan terikat satu
sama lain.[28]
2.
Interaksi antara siswa
yang meningkat. Hal ini akan terlihat ketika seorang siswa membantu temannya
lain untuk memahami pembelajaran yang sedang berlangsung.
3.
Menekankan pada tanggung
jawab individual.
4.
Keterampilan
interpersonal dan kelompok kecil. Keterampilan ini menekankan pada bagaimana
cara siswa bersikap sebagai anggota kelompok. Karena ketika dibutuhkan
keterampilan khusus ketika siswa akan menyampaikan idenya dalam kelompok.
5.
Proses kelompok. Proses
ini terjadi jika anggota kelompok mendiskusikan bagaimana mereka akan mencapai
tujuan dengan baik dan membuat hubungan kerja yang baik.[29]
Model pembelajaran kooperatif memiliki langkah-langkah
ketika melaksanakannya. Dibawah ini merupakan tabel langkah-langkah pelaksanaan
pembelajaran kooperatif.
Fase
|
Perilaku Guru
|
Fase
1
Menyampaikan tujuan dan
memotivasi siswa
|
Guru menyampaikan semua
tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi
siswa belajar
|
Fase
2
Menyajikan informasi
|
Guru menyajikan informasi
kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan
|
Fase
3
Mengorganisasi siswa ke
dalam kelompok-kelompok belajar
|
Guru menjelaskan kepada
siswa bagaimana cara membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok
agar melakukan transisi secara efisien
|
Fase
4
Membimbing kelompok
bekerja dan belajar
|
Guru membimbing
kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas
|
Fase
5
Evaluasi
|
Guru mengevaluasi hasil
belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok
mempresentasikan hasil kerjanya
|
Fase
6
Memberikan tugas
|
Guru mancari cara-cara
untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok
|
D. Pembelajaran Model Diskusi Kelas
Model pembelajaran diskusi kelas merupakan situasi di
mana guru dan para siswa, atau antara siswa dengan siswa yang lain berbincang
satu sama lain dan berbagi gagasan dan pendapat mereka.[30]
Model diskusi kelas ini mempunyai arti suatu situasi di
mana guru dengan siswa atau siswa dengan siswa yang lain saling bertukar
pendapat secara lisan. Pertanyaan yang diajukan guru untuk siswa harus dapat
memancing siswa untuk mencapai tingkat kognitif yang lebih tinggi. Guru
melakukan kegiatan diskusi di kelas apabila hendak:
1.
Memanfaatkan berbagai
kemampuan yang ada (dimiliki oleh siswa).
2.
Memberikan kesempatan
kepada para siswa untuk menyalurkan kemampuannya masing-masing.
3.
Memperoleh umpan balik
dari para siswa tentang apakah tujuan yang dirumuskan telah tercapai.
4.
Membantu para siswa
belajar berpikir teoretis dan praktis lewat berbagai mata pelajaran dan
kegiatan sekolah.
5.
Membantu para siswa
belajar menilai kemampuan dan peranan diri sendiri maupun teman-temannya(orang
lain).
6.
Membantu para siswa
menyadari dan mampu merumuskan berbagai masalah yang dilihat baik dari
pengalaman sendiri maupun dari pelajaran sekolah.
7.
Mengembangkan motivasi
untuk belajar lebih lanjut.[31]
Model pembelajaran diskusi kelas memiliki beberapa
tujuan, antara lain :
·
Tujuan umum
Memperbaiki
cara berpikir, keterampilan siswa dalam berkomunikasi, dan untuk meningkatkan
keterlibatan siswa di dalam pelajaran
·
Tujuan Khusus
1.
Meningkatkan cara
berpikir siswa dengan membantu siswa membangkitkan pemahaman isi pelajaran.
2.
Menumbuhkan keterlibatan
dan partisipasi siswa dalam pembelajaran.
3.
Membantu siswa memahami
dan menerapkan keterampilan komunikasi serta keterampilan berpikir.
Langkah-Langkah penyelenggaraan Model Diskusi[32]
Tahap
|
Kegiatan Guru
|
1. Menyampaikan
tujuan dan mengatur siswa
|
·
Menyampaikan
pendahuluan,
a.Motivasi
b.Menyampaikan
tujuan dasar diskusi
c. Apersepsi
·
Menjelaskan
tujuan diskusi
|
2. Mengarahkan
diskusi
|
·
Mengajukan
pertanyaan awal/permasalahan
·
Modeling
|
3.
Menyelenggarakan diskusi
|
·
Membimbing/mengarahkan
siswa dalam mengerjakan LKS secara mandiri
·
Membimbing/mengarahkan
siswa dalam berbagi
·
Menerapkan waktu
tunggu
·
Membimbing
kegiatan siswa
|
4. Mengakhiri
diskusi
|
Menutup diskusi
|
5. Melakukan
tanya jawab singkat tentang proses diskusi
|
Membantu siswa
membuuat rangkuman diskusi dengan tanya jawab singkat
|
E. Model Pembelajaran
Alam Sekitar
Gerakan pendidikan yang mendekatkan anak dengan alam
sekitarnya adalah gerakan pengajaran alam sekitar. Perintis gerakan ini adalah
Fr. Finger (1808-1888) dari Jerman, dengan “heimatkunde”-nya
(pengajaran alam sekitar). Beberapa prinsip gerakan “heimatkunde” adalah:
a. Dengan pengajaran alam sekitar, guru dapat memperagakan
secara langsung sesuai dengan sifat-sifat atau dasar-dasar pengajaran.[33]
b. Pengajaran alam sekitar memberikan kesempatan agar anak dapat
belajar secara aktif, tidak hanya duduk, dengar, dan catat saja.
c. Pengajaran alam sekitar memungkinkan guru untuk
memberikan pengajaran totalitas, yaitu suatu bentuk pengajaran dengan
ciri-ciri:
-
Tidak mengenali
pembagian mata pengajaran dalam daftar pengajaran, tetapi guru paham dengan
tujuan pengajaran dan mampu mengarahkan usahanya agar siswa dapat mencapai
tujuan pembelajaran.
-
Dapat menarik minat
siswa, karena guru mengambil bahan pembelajaran dari lingkungan sekitar siswa.
-
Memungkinkan segala
bahan pengajaran berhubungan satu sama lain.
d. Pengajaran alam sekitar memberi kepada anak bahan
apersepsi intelektual yang kukuh dan tidak verbalitas.[34]
e. Pengajaran alam sekitar memberi apersepsi emosional pada
anak, karena alam sekitar mempunyai ikatan emosional dengan anak.
F. Model Pembelajaran
Pusat Perhatian
Pembelajaran melalui pusat perhatian dirintis oleh Ovide
Decroly (1871-1932) dari Belgia dengan pembelajaran melalui pusat-pusat minat (Centres d’interet). Pendidikan menurut
Decroly berdasar pada semboyan “Ecole
pour la vie, par la vie” (sekolah untuk hidup dan oleh hidup).[35]
Dalam model pembelajaran ini, anak harus dididik untuk
dapat hidup dalam masyarakat, anak harus diarahkan kepada pembentukan individu
dan anggota masyarakat. Oleh karena itu, anak harus mempunyai pengetahuan
terhadap diri sendiri, kemudian pengetahuan tentang dunianya seperti
lingkungannya dan tempat hidup di hari depannya.
Model pembelajaran pusat perhatian telah mendorong berbagai
cara agar saat kegiatan pembelajaran berlangsung guru melakukan berbagai
variasi cara mengajar. Variasi ini dimaksudkan agar perhatian siswa selalu
terpusat pada materi pembelajaran. Pemusatan perhatian siswa tidak hanya
dilakukan ketika pembukaan pembelajaran, tetapi juga pada tiap pembahasan
materi, sehingga tidak ada waktu yang disia-siakan.
G. Model Pembelajaran
Individual
Pembelajaran secara individual tampak pada perilaku atau kegiatan guru
dalam mengajar yang menitikberaktak pada pemberian bantuan dan bimbingan
belajar kepada masing-masing siswa secara individual. Susunan suatu tujuan
belajar yang di desain untuk belajar mandiri harus disesuaikan dengan
karakteristik individual dan kebutuhan tiap siswa. Bentuk-bentuk belajar
mandiri antara lain adalah: (1) self
instruction semacam modul; (2) independent
study; (3) individualized prescribed
instruction; dan (4) self pacet
learning.
Perilaku pembelajaran individual ini guru akan memberikan
kesempatan dan keleluasaan kepada masing-masing individu siswa untuk dapat
belajar sesuai dengan kemampuan yang dimiliki siswanya. Kemudian ada kesempatan
bagi masing-masing individu siswa untuk mengembangkan kemampuan yang dimiliki
siswa, artinya setiap individu siswa memiliki paket belajar secara individual
yang sesuai dengan tujuan belajarnya secara individual juga.
Posisi guru dalam model pembelajaran individual adalah
membantu siswa membelajarkan siswa, membantu merencanakan kegiatan belajar
siswa sesuai dengan kemampuan dan daya dukung yang dimiliki siswa. Peran guru
selanjutnya adalah sebagai penasehat atau pembimbing belajar, membantu siswa
untuk mengadakan penilaian belajar dan kemajuan yang telah dicapainya.
H. Model Pembelajaran
Klasikal
Pembelajaran klasikal mencerminkan kemampuan utama guru, karena
pembelajaran klasikal ini merupakan kegiatan belajar dan mengajar yang
tergolong efisien[36].
Pembelajaran secara klasikal ini memberi arti bahwa seorang guru melakukan dua
kegiatan sekaligus, yaitu mengelola kelas dan mengelola kegiatan pembelajaran.
Dalam hal ini guru dituntut kemampuannya menggunakan teknik-teknik penguatan
dalam pembelajaran agar ketertiban belajar dapat diwujudkan. Pengajaran
klasikal dirasa lebih sesuai dengan kurikulum yang seragam, yang dinilai
melalui ujian yang seragam pula.
Kegiatan belajar klasikal sifatnya cenderung menerima dan
menghafal saja dan penyampaian materi pun dilakukan secara ceramah. Dalam
mengikuti kegiatan belajar, siswa dituntut untuk selalu memusatkan perhatian
terhadap pelajaran dengan cara kelas harus sunyi dan siswa harus duduk manis di
tempat masing-masing. Oleh karena itu, belajar
secara klasikal cenderung menempatkan siswa dalam posisi pasif, hanya sebagai sebagai
penerima bahan ajaran. Upaya mengaktifkan siswa dapat menggunakan metode tanya
jawab, demonstrasi, diskusi, dan lain-lain yang sesuai bagi para muridnya.
I. Model Pembelajaran Problem
Based Instruction
Problem Based Instruction
biasa diterjemahkan menjadi pembelajaran berdasarkan masalah atau pembelajaran
berbasis masalah. Pembelajaran beradasar masalah merupakan pembelajaran yang
menyajikan masalah, yang kemudian digunakan untuk merangsang berfikir tingkat
tinggi yang berorientasi pada masalah. Pembelajaran jenis ini tidak difokuskan
apa yang menjadi perilaku siswa tetapi lebih kepada apa yang mereka pikirkan
pada saat melakukan kegiatan tersebut.
Model Problem Based
Instruction memiliki lima langkah pembelajaran, yaitu:
1.
Guru mendefisikan atau mempresentasikan masalah atau isu yang berkaitan
(masalah bisa untuk satu unit pelajaran atau lebih, bisa untuk pertemuan satu,
dua, atau tiga minggu, bisa berasal dari hasil seleksi guru atau dari
eksplorasi siswa).
2.
Guru membantu siswa mengklarifikasi masalah dan menentukan bagaimana
masalah itu diinvestigasi (investigasi melibatkan sumber-sumber belajar,
informasi, dan data yang variatif, melakukan surve dan pengukuran).
3.
Guru membantu siswa menciptakan makna terkait dengan hasil pemecahan
masalah yang akan dilaporkan (bagaimana mereka memecahkan masalah dan apa
rasionalnya).
4.
Pengorganisasian laporan (makalah, laporan lisan, model, program komputer,
dan lain-lain).
5.
Presentasi (dalam kelas melibatkan semua siswa, guru, bila perlu melibatkan
administator dan anggota masyarakat).[37]
Tahapan Pembelajaran Problem
Based Instruction
Tahap
|
Tingkah
Laku Guru
|
Tahap I
Orientasi
siswa pada masalah
|
Guru
menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan,
memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya.
Guru mendiskusikan rubric asesmen yang akan digunakan dalam menilai
kegiatan/hasil karya siswa
|
Tahap 2
Mengorganisasi
siswa untuk belajar
|
Guru
membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang
berhubungan dengan masalah tersebut.
|
Tahap 3
Membimbing
penyelidikan individual maupun kelompok
|
Guru
mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan
eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
|
Tahap 4
Mengembangkan
dan menyajikan hasil karya
|
Guru
membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti
laporan, video, dan model dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan
temannya.
|
Tahap 5
Menganalisis
dan mengevaluasi proses pemecahan masa
|
Guru
membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan
mereka dan proses-proses yang mereka gunakan
|
Secara garis besar PBI terdiri dari menyajikan kepada
siswa situasi masalah yang otentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan
kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri. Peranan
guru dalam PBI adalah mengajukan masalah, memfasilitasi penyelidikan dan dialog
siswa, serta mendukung belajar siswa. PBI diorganisasikan di sekitar situasi
kehidupan nyata yang menghindari jawaban sederhana dan mengundang berbagai
pemecahan yang bersaing.
J. Model Pembelajaran Reasoning and Problem Solving
Saat ini, pembicaraan mengenai
perubahan paradigma pendidikan menjadi suatu hal yang terus dibahas, baik yang
menyangkut konten maupun
pedagogik. Perubahan tersebut
meliputi kurikulum, pembelajaran, dan penilaian yang komprehensif. Kemampuan reasoning and problem
solving merupakan keterampilan yang saat ini harus dimiliki siswa, karena
ketika mereka meninggalkan kelas untuk memasuki dan melakukan aktivitas di
dunia nyata mereka akan membutuhkan kemampuan tersebut.
Reasoning merupakan bagian berpikir yang berada
di atas level memanggil (retensi), yang meliputi: pemikiran dasar, berpikir
kritis, dan berpikir kreatif. Pemikiran dasar adalah kemampuan siswa
untuk memahami konsep. Aktivitas problem solving diawali dengan mendatangkan
masalah dalam pembelajaran dan akan berakhir jika sebuah solusi untuk
penyelesaian masalah telah diperoleh. Kemampuan pemecahan masalah dapat
diwujudkan melalui kemampuan reasoning. Oleh karena itu, model reasoning and problem solving tidak dapat
dipisahkan satu sama lain, karena model ini saling melengkapi.
Model reasoning and problem
solving dalam pembelajaran memiliki lima langkah pembelajaran, yaitu:
1.
Membaca dan berpikir (mengidentifikasi fakta dan masalah, memvisualisasikan
situasi, mendeskripsikan seting pemecahan.
2.
Mengeksplorasi dan merencanakan (pengorganisasian informasi).
3.
Menseleksi strategi (menetapkan pola, menguji pola, simulasi atau
eksperimen, reduksi atau ekspansi, deduksi logis, menulis persamaan).
4.
Menemukan jawaban (mengestimasi, menggunakan keterampilan komputasi).
5.
Refleksi dan perluasan (mengoreksi jawaban, menemukan alternatif pemecahan
lain, memperluas konsep dan generalisasi, mendiskusikan pemecahan,
memformulasikan masalah-masalah variatif yang orisinil).[38]
Sistem sosial yang berkembang
adalah minimnya peran guru sebagai transmiter pengetahuan, demokratis, guru dan
siswa memiliki status yang sama yaitu menghadapi masalah, interaksi dilandasi
oleh kesepakatan. Prinsip reaksi yang dikembangkan adalah guru lebih berperan
sebagai konselor, konsultan, sumber kritik yang konstruktif, fasilitator,
pemikir tingkat tinggi. Peran tersebut ditampilkan utamanya dalam proses siswa
melakukan aktivitas pemecahan masalah.
Efek pembelajaran dalam model ini adalah
pemahaman, keterampilan berpikir kritis dan kreatif, kemampuan pemecahan
masalah, kemampuan komunikasi, keterampilan mengunakan pengetahuan secara
bermakna. Sedangkan dampak pengiringnya adalah hakikat tentatif krilmuan,
keterampilan proses keilmuan, otonomi dan kebebasan siswa, toleransi terhadap
ketidakpastian dan masalah-masalah non rutin.
[1]Trianto, Mendesain Model Pembelajaran
Inovatif-Progresif, (Jakarta: Kencana), 2009, h. 21.
[5] Abdul Aziz Wahab, Metode dan Model-Model Mengajar Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS), (Bandung: Alfabeta), 2007, h. 57.
[8] Jere Brophy dan Janet
Alleman, Powerful Social Studies for
Elementary Students, (USA: Harcourt Brace and Company), 1996, h. 5.
[9] Tom. V. Savage and David.
G. Armstrong, Effective Teaching in
Elementary Social Studies, (USA: Prentice Hall), 1986, h. 128.
[37] Santyasa, Wayan. I, 2007,
Model-Model Pembelajaran Inovatif,
hh. 10-11, file.upi.edu/ai.php?dir...MODEL_MODEL_PEMBELAJARAN.pdf
0 komentar:
Post a Comment